Saturday, August 13, 2011

langkah kecil dengan harapan besar "Buka Puasa bersama Komunitas Anak Jalanan"

Pada Pasal 6 Ayat 2 Konvensi Hak Anak dikatakan bahwa “Negara-Negara Pihak akan menjamin kelangsungan hidup san perkembangan anak. Selanjutnya pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa ”Anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, maka perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.”
Jika nyatanya pemerintah terseok-seok dalam memenuhi janji-janji yang terkandung dalam konvensi yang mereka ratifikasi dan undang-undang yang telah mereka tetapkan, apakah semua itu adalah kesalahan besar pemerintah semata? Jangankan UU No.23 Tahun 2002, Pasal 34 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang katanya dipelihara negara-pun rasanya masih sulit mereka penuhi. Namun sekali lagi, Apakah semua itu hanya tugas negara? Lalu apa tugas kita sebgai warga masyarakat? Apa hanya bisa diam dan terus menyalahkan kelalaian pemerintah?
Tentu,tidak!
Untuk itu kita harus bergerak, walau dengan langkah kecil sekalipun, kawan..

..

Selamat Datang di lingkungan Rumah Singgah Al-Mustadhafiin.
Lingkungan sangat sederhana, yang mayoritas penduduknya adalah mereka yang menggantungkan nasib pada kerasnya kehidupan jalan-jalan Ibu Kota.  Di tempat inilah, niat kami Insya Allah akan terlaksana dan udara akan berbagi cerita tentang sesama...

*Setapak kecil pada lapangan luas yang menjadi lintasan pengantar kami ke Rumah Singgah Al-Mustadhafiin

Jumat (12/08/2011)

Teriknya mentari menemani perjalanan kami selama menuju ke Rumah Singgah Al-Mustadhafiin. Nyatanya perjalanan singkat kami hari itu, memberikan pelajaran tersendiri pada diri kami untuk terus bersemangat dalam melahirkan niat kecil yang telah kami kandung selama lebih dari setahun lalu, mengadakan kegiatan pembelajaran hidup dengan sedikit berbagai keceriaan bersama anak-anak dan masyarakat sekitar yang membutuhkan. Niat kecil,yang membutuhkan tekad kuat serta bantuan dari kawan-kawan sekalian demi mewujudkannya.
Tepat dibelakang lapangan besar di Pasar Gembrong-Kp.Melayu, terdapat sebuah tempat berpagar besi dan bertembok rendah dengan pelataran depan lumayan luas, penuh dengan anak-anak usia sekolah yang hilir mudik ditemani tawa menggelitik. Meraka adalah anak TPA yang sedang sibuk bermain. Di sudut lainnya, bergelimpangan tubuh-tubuh berbalut kaos kumal dengan dengkur lembut bersaut-saut. Mereka adalah anak-anak jalanan yang kelelahan mencari nafkah, sedang numpang berbaring sejenak di musollah tersebut. Sesungguhnya, tempat itu terbuka bagi semua orang yang membutuhkannya, sebuah musollah sederhana tepat di jantung hiruk pikuk pemukiman padat penduduk.
 
 Tempat itu adalah Rumah Singgah sekaligus musollah Al-Mustadhafiin..


Rumah Singgah dan musollah Al-Mustadhafiin untuk saat ini hanya dikelola sepasang suami istri beranak satu. Merekalah yang setiap harinya memberi pelajaran agama dan mengaji bagi anak-anak sekitar, juga motivasi dan bimbingan bagi anak-anak jalanan yang singgah di tempat itu. Mereka sama sekali tidak memungut bayaran pada orang tua si anak, namun juga tidak dibayar atas kebaikan mereka dalam menebar ilmu dan manfaat bagi orang lain. ”Neng, kami yakin hanya Allah-lah yang akan memberi rezeki untuk rumah singgah ini”, ujar Bapak penjaga Rumah Singgah dan musollah Al-Mustadhafiin. Subhanallah, alangkah indahnya ketulusan dan keyakinan yang hati mereka..

Sejak tahun 2002 sampai saat ini, Rumah Singgah Al-Mustadhafiin menggunakan dana mandiri dan sedikit bantuan dari pada dermawan guna mengajar baca Al-Quran pada sekitar 75 anak usia sekolah yang tinggal di pemukiman tersebut, juga lebih dari 50 anak jalanan yang kebanyakan adalah pemuda perantau dari pulau seberang dan provinsi-provinsi tetangga. Berdasarkan keterangan penjaga rumah singgah, anak jalanan di kampung kecil tersebut mayoritas berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Maka dari itu, kampung kecil tersebut lebih dikenal warga sekitarnya dengan sebutan kampung topeng monyet.



Pentingnya pendidikan, yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah, nyatanya belum menyentuh sendi-sendi terkecil masyarakat Ibu Kota. Itulah yang terjadi di kampung topeng monyet ini. Sayangnya alih-alih slogan ”Wajib belajar 9 tahun” yang mereka rengkuh, slogan lama Banyak anak banyak rezeki-lah yang ternyata melekat pada penduduk kampung kecil ini. Maka tak heran, dengan himpitan ekonomi kelas berat sekalipun tidak menghalangi sebagian besar pasangan di sana tetap memiliki anak lebih dari 3 orang. Hal tersebut kemudian berdampak pada keterbatasan anak-anak dalam memenuhi hak mengenyam pendidikan formal. Banyak dari anak-anak itu yang masih menggantungkan secercah harapan pada pendidikan guna mewujudkan cita-cita besar mereka. Sungguh sebuah ironi, mengetahui tekad anak-anak penerus bangsa ini terpatahkan begitu saja karena keterbatasan ekonomi serta kurangnya kesadaran dari kedua komponen utama pranata keluarga.

Rumah singgah Al-Mustadhafiin hanyalah satu dari segelintir kumpulan manusia yang peduli nasib sesama dan bertekad memulai langkah kecil untuk membantu merekakeluar dari sekam gelap dunia buta-tuli pendidikan. Dengan bernafaskan ajaran agama, mereka berusaha memenuhi kebutuhan anak-anak sekitarnya untuk memperoleh pendidikan. Walau dengan buku-buku pelajaran ’lawas’ dan sepetak kecil kumpulan Al-Quran dan Iqra, mereka membuktikan bahwa mereka bergerak, tidak hanya diam!




Setelah membaca cerita realita di atas.. Sekali lagi, apakah kita masih tetap bersikeras menyataan bahwa nasib saudara-saudara kecil kita tersebut adalah tanggungan penuh pemerintah?

Kami, hanya anak-anak mahasiswa biasa yang belajar menggerakan kepedulian di hati kami, bertekad mengajak kawan-kawan untuk sama-sama belajar menghargai nikmat dengan cara berbagi. Sebuah langkah kecil memang, tapi dengan ini kami harap menjadi bibit-bibit kecil perubahan di hati kita semua untuk meningkatkan rasa peduli terhadap kondisi saudara-saudara kita di luar sana.

Sekali lagi, mungkin ini hanya langkah kecil kami untuk mengajak kawan-kawan bergerak dari zona ke sebuah zona yang belum tentu kita semua pernah menyelaminya.

InsyaAllah pada tanggal 18 Agustus 2011 ini, kami akan mengadakan Buka Puasa Bersama dengan Komunitas Anak Jalanan. Acara ini tepatnya akan diselenggarakan di Rumah Singgah sekaligus Musollah Al-Mustadhafiin yang terletak di belakang Lapangan Pasar Gembrong-Kampung Melayu.

Ada pun acara ini tidak hanya menekankan pada sesi buka puasa bersamanya saja, namun merupakan serangkaian mata acara yang diharapkan dapat memberi kita semua sebuah pengalaman dan pemahaman baru tentang kehidupan saudara-saudara kita di sana. InsyaAllah akan ada sesi games dan pembagian hadiah serta sesi sharing dengan anak-anak tersebut. Agar kita semua dapat saling bertukar cerita dan lebih mengakrabkan diri dengan teman-teman kecil kita di sana, maka kami akan membagi sekitar kurang lebih 60 anak yang akan kami undang kedalam beberapa kelompok kecil yang akan didampingi oleh satu sampai dua kakak mentor.  InsyaAllah, jika waktu dan kondisi memadai, kami juga akan mengadakan sesi keliling Kampung Topeng Monyet yang akan dipandu langsung dengan anak-anak dari komunitas tersebut.

Tertarik untuk membantu dan bergabung bersama kami?

Jika kawan-kawan ingin menyisihkan sebagian rezeki dengan menjadi donatur, maka silahkan kirimkan sedekah kawan-kawan ke...

No. Rek Mandiri
1550001619462 a/n veronica retno widi
No. Rek BCA
5255024636 a/n wara aninditari larascintya h
No. Rek BNI
0216791065 a/n wara aninditari l h

InsyaAllah donasi yang kawan-kawan berikan akan kami alokasikan untuk kebutuhan acara buka puasa tersebut dan juga untuk sedikit membantu pemberdayaan dan penyediaan beberapa kebutuhan pedidikan yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar di Rumah Singgah sekaligus Musollah Al-Mustadhafiin.

Jika ingin berpartisipasi langsung dan turut membantu kami menyukseskan acara kecil ini, maka kami juga mengundang kawan-kawan untuk bergabung bersama kami, (konfirmasi kepastian dan kesediaan paling lambat Senin, 15 Agustus 2011 pukul wib )

Hubungi;
Ayash / Kriminologi UI 2010     (085719233311)

Kaka / FKG UGM 2010              (08989916234)

Mari, belajar dan berbagi keceriaan bersama di bulan baik ini dengan teman-teman kecil kita dari Kampung Topeng Monyet J

 
 
 

Saturday, May 7, 2011

lingga-yoni

benarkah wanita iri karena ia hanya punya yoni, bukan lingga yang gagah lambangkan kuasa atas kerapuhan lawan mainnya?






yoni  ; lambang kebetinaan bagi perempuan
lingga; lambang kejantanan bagi lelaki

*temukan jawabannya pada posting berikutnya :)

Saturday, April 23, 2011

dari iri sampai nyamuk


Pernahkah kau iri pada apa yang pernah kau dan orang lain lalui dalam hidupnya?
Iri pada sesuatu yang pernah dan belum pernah kau lalui.
Iri pada sesuatu yang sangatlah nyata tidak dapat lagi dan mungkin saja tak dapat kau menjejakinya.

yaaaa.. itu aku sekarang..

Iri terkadang membuatmu tersungkur tanpa tahu apa yang dapat kau lakukan.
Namun terkadang iri bisa pula jadi cambuk ampuh yang memacumu berusaha lebih keras lagi untuk dapat merengkuh kesungguhannya.


...


selamat malam si kecil setia menghisap kebosanan yang mengalir di darahku :)

malam ini aku lagi-lagi bertindak bodoh. untuk kesekian kalinya aku berpikir bulan di atas sana bersedia memberi jatah oksigen padaku, agar aku dapat menari leluasa di permukaannya. (-.-)


hey nyamuk kecil~
kau tahu, ada beberapa hal yang sangat aku takutkan jika tetap dambakan ia sedikit mengerti keinginanku.

aku sangat takut awan bosan memainkan selaput kapas lembutnya dengan manja dihadapanku. aku juga takut bunga liar oleng diterpa angin untuk kemudian mati kering diguyur sinar mentari, tanpa aku dapat berbuat apa pun  dan terlebih, aku sangat takut mawar kecil  tumbuh menjadi monster menawan  dengan duri yang diam-diam potensial melukai.


hey nyamuk kecil, jangan begitu aaah..
kan aku sudah bilang, kamu tak harus paham benar permainan kata yang aku lukiskan ini kok..
toh kehadiranmu yang mau menjadi tong curhatku saja sudah sangat melegakan malam ini..
sungguh..   :)


nyamuk kecil..
aku mau bulan mengerti bahwa aku juga punya  nilai harga yang pantas dibayar dengan sedikit 'memberikan oksigen khusus' padaku.
hmmm.. kira-kira apa ya yang dapat aku lakukan agar bulan hendak mengubah sifat absolutnya itu?

satu hal yang kau perlu tahu, nyamuk kecil..
aku di sini, bukan untuk memonopoli bulan, namun aku ingin ia belajar menghargai makhluk kecil yang menumpahkan impian besar padanya dan telah terlanjur jatuh cinta pada cahayanya di tiap malam. :)

... 


"kuatlah kamu, maka kamu akan kuatkan kita. jangan biarkan dirimu patah, karena itulah yang kelak dapat melemahkan kita. aku ada, bukan karena ingin menggiringmu. namun ingin berjalan beriringan bersamamu"

lelakiku, wahid mizan annifari
aku sayang kamu...

Thursday, April 21, 2011

ke-ilmu+kastrat-an

terima dan pahami-lah..
aku dengan buletin dan menulis-ku
kamu dengan propaganda dan aksi-mu




saling belajar dan berbagi ilmu juga pengalaman seru 'dunia baru' (^-^)

Wednesday, April 20, 2011

dua organisme dinamis


diawali
cukup sebutir simbol
W
kemudian disusupi satu simbol lagi
MW
keduanya nyaris serupa, hanya bertolak arah


(kenapa tidak)WM?
(kenapa harus selalu) MW?

kesetaraan gender ikut bermain dalam pemberian inisial?
aah.. lagi-lagi soal refleksi hak asasi diterjemahkan seenaknya
perbedaan yang ditonjolkan hanya akan membuat manusia hilang arah
saling iri dengan lingga yang menancap juga iri dengan nori yang mengerat


MW atau WM
bukan tentang lelaki pertama dan wanita utama
yang tersirat dan menjadi makna dari kata pertama nama mereka
namun tentang apa yang menjadi alur dari perpaduan dua variabel organisme dinamis


M dan W
adalah sebuah nama
benih harapan diciptaan keluarga
dengan asal kosa kata yang sungguh berlainan
mencondongkan keduanya pada kedua kutub berbeda budaya


arus yang menyisir alur, pada setapak berbeda, namun dalam rel ganda yang telah bertaut. semoga kelak kan tetap menjadi rantai mutualisme intim yang saling terekat.

garis cakra'wara'


@ fakultas ilmu budaya-universitas indonesia
suatu petang di kelas lukis yang sepi ummat

ayah (ir.ilham nurtiasto atianto adhi) nampaknya lupa mengajarkan perspektif dan segala tetek bengek tentang bangun ruang pada anaknya yang paling besar ini. segala garis bantu dan titik lenyap langsung 'lenyap' begitu saja sesaat setelah si dosen keibuan menjelaskan panjang lebar (sambil sesekali mencorat-coret buku gambarku).

"ini namanya garis cakrawala", jelasnya.

'hah? cakrawala? tengadah tinggi-tinggi layaknya seorang congkak hendak melamar langit-kah? aaaahh.. konsep cakrawala di benakku telah mengalami pergeseran makna sejak aku menjadi bagian dari IKK', batinku.

“kamu tarik ke sini, lalu supaya membentuk ruang.  kamu hubungkan dulu titik ini dengan garis ini. nah, kelihatan kan ruangnya?”, beliau semakin seru berceloteh sembari menggoreskan pensil di atas kertas putih pasrah. Sepasrah aku yang tak mengerti akan penjelasan-penjelasannya.

‘hanya magnet dengan kutub berlainan yang dapat saling tarik menarik. apa imajinasi juga perlu memiliki daya magnet tersebut, agar dapat langsung mengerti dan mengaplikasikan segala konsep normatif? bagaimana jika nyatanya kotak imaji dalam otakku dan tanganku adalah dua kutub yang sama, sehingga keduanya menolak untuk menyatu?, timpalku dalam hati.


“anak-anak, coba perhatikan. misalnya ini garis cakrawala (beliau menjelaskan dengan membentuk sebuah garis khayal dengan kedua tangannya menggores udara). kita hanya dapat melihat segalanya dalam batasan ini saja. nah, nampaknya masih banyak yang belum terlalu paham dengan materi kita kali ini. maka dari itu, saya tidak akan menambahkan materi baru hari ini. (sambil melirik kecil ke arahku). baik. ibu sudahi dulu pertemuan kita kali ini. bagi yang masih ingin memperbaiki gambarnya. silahkan untuk duduk di kelas. atau mungkin ada yang masih ingin bertanya, silahkan..", lagi-lagi dengan suara sangat lembut beliau mengakhiri pertemuan kami kali ini, lengkap dengan senyum yang sepertinya terpatri permanen di wajah ayu yang sudah mulai keriput itu.

apa yang cocok untuk menyebut 'ini'?


Ada kalanya sesuatu yang kau anggap adalah sebuah kehendak bebas, menjadi terbatas ketika orang lain merasa hal tersebut juga mengusiknya pula. Ketika urusan pribadi tak lagi hanya milik satu dua orang, tetapi juga menyangkut prilaku berbeda yang tak dikehendaki khalayak. Banyak yang menuntut. Namun tak bicara. Hanya diam serba rapat. Namun berjalan di tempat dalam diam.

Adakah perempuan lain dengan seorang lelaki yang memiliki 'beban kepercayaan di pundaknya' juga merasakan hal yang sama? Tatkala kebersamaan yang mereka putuskan menjadi suatu yang pantas dipersalahkan di mata orang lain.

Jika kiranya setapak menuju bangku taman itu tak semulus yang diharapkan, apakah itu menjadi sebuah landasan yang harus selalu dipermasalahkan jika nyatanya setapak tersebut sudah sama ratanya dengan aspal jalan-jalan perkotaan?

Waktu nampaknya tak berniat menghampiri, untuk sekedar memanjakan tubuh kami agar dapat bersandar sebentar di pondokan kayu tua yang nyaris lapuk dimakan bicara. Segala nampak biasa saat kami mulai masuk, guna melihat apa nian yang ada di dalamnya. Tetapi si pondokan reyot itu runtuh begitu saja, ketika kami mulai melangkahkan kaki keluar dari daun pintu yang menggelayut malas pada engselnya. Lantai berderit jerit. Mencicit tak karuan. Tepat setelah punggung-punggung kami melewati sisi-sisi serupa porselen pada detik sebelumnya.


tak harus mengerti apa yang kubicarakan di sini. bagiku, bermain kata sungguh kegiatan bodoh yang menyenangkan. merangkai rasa lewat aksara yang hanya diri sendiri ketahui. :)

Monday, April 11, 2011

Main-Main ala Tuhan

Pagi Tuhan
permainan macam apa yang hendak Kau mainkan bersamaku hari ini?


petak umpet?
aaahh.. aku sudah bosan, Tuhan.

apa lagi yang hendak Kau sembunyikan?

2 bulan lalu
pikiran rasional domba-domba, telah Kau sembunyikan di balik semak-semak sempit.
kini mereka tidak lagi bisa membedakan mana rumput liar yang pantas dan tidak pantas untuk mereka makan.
mereka jadi buta untuk aplikasikan perspektif holistik jika harus sikapi tindak-tanduk minoritas kerumunannya.
jadi serba ego.
bikin aku melonggo tiap lihat tingkah lucu mereka.



kuda-kudaan?
aaahh.. aku lelah, Tuhan.

apa lagi yang hendak Kau sampirkan di atas punggungku?

4 bulan lalu.
rantai objektifitas potensial anomie telah Kau sampirkan di untai rapuh tulang punggungku.
itu tak cukup menantang pula bagi-Mu, sehingga benang kusut kata-kata buat semua layak dikata salah makna dan terima bagi pihakku, kau sisipkan pula sebagai beban.
segala amarah.
segala salah sangka.
aku nampak salah.
kau tahu?
mereka tidak lagi menyodorkan selimut hangat berajut tawa tulus.
mereka jadi pada kelu untuk sekedar mengaku kalau kita masih akan terikat jadi satu.



taruhan?
aaahh.. Kau sungguh lucu, Tuhan.

apa lagi yang akan kau pertaruhkan di altar pertandingan?

7 bulan lalu.
saat itu, kupertaruhkan air perasan rasa yang telah lama Kau beri secara cuma-cuma.
lalu Kau sandingkan ia dengan jaminan goresan warna yang lebih beragam di sampul depan kehidupan baruku.
sayangnya,aku kalah.
rasa itu berubah.
menjadi asa yang mengkerak di dasar panci hati.
namun itu tak cukup pula bagi-Mu.
warna yang kau lontarkan, nyatanya tak lebih dari seberkas mega manja kala senja.
kini segalanya nampak seperti TV hitam-putih membosankan, Tuhan.
cepat-cepat ingin aku rekontruksi isi agar lebih bervariasi sajiannya.



hey Tuhan
boleh aku pilihkan permainan kita kali ini?

hmmm..
bagaimana kalau kita main drama?
perannya menjadi anak umur 5 tahun yang belajar memelukis?
pasti seru..

kau tahu, Tuhan?
aku sungguh ingin melukis ulang kanvas yang 8 bulan ini aku kotori dengan cipratan cat abstrakis.
lukisan rumit dengan repetisi bodoh yang menyedihkan.
aku ingin menumpahkan cat putih di sana, Tuhan.
lambat-lambat aku ingin kembali mengisi ruang.
muntahkan pelangi tipis warna-warni dari botol-botol cat ke atasnya.
membuat kanvas itu lebih indah.
lebih hidup dan punya makna.


*Tuhan aku harap kau tak marah karena segala kata yang meluncur begitu saja dari jemariku. maaf aku belum cukup istimewa untuk dikata sebagai ummat-Mu yang baik.
kau tahu, aku mencoba untuk itu.
walau terkadang aku lelah. tapi aku mencoba.
tak ada yang aku janjikan padamu, kecuali hatiku yang tak akan berpihak pada irrasionalitas moral dengan mengkucilkan semut-semut kecil di ladang permainan-Mu ini.

nyatanya memang masih bocah

kesendirian tidak boleh mengantarkanku pada kesepian


suatu pagi di hari minggu di kamar kost. ketika beranjak tuk mandi pun aku malas -.-



Sunday, March 13, 2011

keluarga sederhana dengan cinta luar biasa











keluarga bukan tentang APA yang telah dimiliki dan diberi.
Keluarga bukan tentang SIAPA dan BERAPA jumlah di dalamnya.
tetapi keluarga adalah tentang BAGAIMANA tetap bersama dan saling menopang, baik disaat senang atau sulit sekalipun :)

aku tumbuh dan besar dengan segala kasih sayang dan kehangatan yang sederhana, dalam sebuah keluarga kecil yang saling menyayangi.. segala apa yang ingin kucapai, semua kelak akan kuberi untuk keluarga kecilku ini. mereka matahari dalam hariku..

Saturday, February 19, 2011

mata.hati.telinga.langkah.bicara

Ia berubah 180° sejak hatinya tertampar ‘telapak kata’. Menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga bicara.

Alangkah bodohnya ia, terjebak dalam pusaran intermezzo panjang. Hanya berguling-guling di tempat, tanpa ada usaha setimpal untuk menjadikan segala tampak lebih nyata. Betapa malunya ia, saat kemudian hari menyadari dirinya bermandi detik-detik hampa yang menjual rasa semata. Berlama-lama memanjakan diri dalam kubangan harapan yang nyatanya memang hanya harapan.

Setiap manusia memiliki ruang dalam dirinya yang terdiri dari berbagai kepingan jiwa yang saling berbeda satu sama lain. Kesemuanya itu, jika berhasil digabungkan akan menjadi sebuah gambaran khas yang membangun jati diri orang itu. Entah mungkin kepingan serupa puzzle itu kelak akan berwarna jingga menyala atau malah kelabu kebiruan. Terkadang tak jarang beberapa hasil bernuansa paduan keduanya.

Ia merasa kepingan berwarna keperakan miliknya yang dulu hinggap dalam ruang pengap, kini beterbangan mencari induk semang baru yang pantas dijajaki. Melayang lintasi berbagai macam keping serupa yang bukan miliknya saja. Terus mencari tanpa arah pasti yang tak terpatri dalam peta perjalanannya. “Biarkan begitu”, katanya. “Manusia memiliki kebebasan dalam beraspirasi dan mengeksplorasi diri yang terlegitimasi dalam hak asasi. Jadi mengapa kepingan-kepingan jiwa harus dikekang dan tak boleh bebas tentukan dimana dan pada siapa akan menambatkan jangkarnya serentak pada tempat yang sama?!”

Sejak saat itu, ia sadar bahwa jiwa dan raganya bukanlah boneka yang mudah dibeli dengan sejumlah receh remeh-temeh, lalu kemudian begitu saja terlupa jika si pembeli telah jenuh menjamah dan malas meremas. Ia membiarkan kepingan jiwanya beterbangan, tanpa mengizinkan predator penjual mimpi mengekang kebebasannya sebagai elang liar yang terjebak dalam tubuh manusia lemah dengan rahim menempel di pangkal pahanya.

Ia berubah 180° sejak hatinya tertampar ‘telapak kata’. Menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga bicara.

Menelaah kebersamaan terdahulu. Mengevalusi seciduk kecil kenangan yang tersiram vormalin keyakinan berselimut tipis ragu. Mempisahkan si M, si S, dan si A dalam beberapa ruang suci berisi kebaikan dan pelajaran yang telah mereka beri. Mengaplikasikan sebagian kecil harapan tentang bagaimana seharusnya ia bertindak agar tetap berjalan di rel yang tepat. Menyisihkan sebagian besar lainnya dalam kotak hitam legam yang terbuat dari logam asli tanpa kunci, biar tak pernah biasa ia buka kembali kemudian hari.

Dua sisi berbeda dalam dirinya pernah berseteru seru, guna tentukan harus memenjarakan atau melepas segala kepercayaan yang lama ia titi dan pupuki dengan kesabaran atas keterbatasan. Sampai akhirnya ia tau, bahwa kepingan keperakan dirinya haruslah berhenti jelajahi sapuan matanya yang berotasi dari lusinan lelaki tinggi, kurus, putih, kekar, mekar, aktif, atau bahkan yang apatis superstatis. Butuh lebih dari sejuta kali ledakan atom ragu hingga terpecah menjadi potongan kecil nano percaya, yang kemudian berekatan mesra menjadi kekuatan baru untuk menyakini dua kata sederhana; membuka dan menerima.

Ia berubah 180°. Menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga bicara.

Bukan mata yang ia ingin manjakan, sehingga ia hindari terjebak dalam ilusi keindahan yang nyaris lebih sering menjadi pemangsa bagi orang yang terlena kepadanya. Bukan hati yang ingin ia abadikan, sehingga ia hindari menari di atas permainan rasa yang berayun ringan karena dilumuri oli mimpi. Bukan telinga yang ingin ia refleksi, sehingga ia hindari terhenyak lagu mendayu yang sebenarnya hanya lelucon lucu agar akal rasional tertutup cumbu rayu romantisme klasik palsu. Bukan langkah yang ingin ia rintis, sehingga ia hindari berjalan dengan tangan tertambat lambat-lambat yang hanya alihkan diri dari kata “beriringan” jadi kekuasaan untuk saling “mengiring”. Bukan bicara yang ingin ia utamakan, sehingga ia hindari melegalkan segala kata formal macam gombal yang sepertinya tak pantas dijebloskan dalam rangkai kata yang patut dipuja dan dipenuhi segala maksud dibaliknya.

Ia berubah 180°. Namun nyatanya bukan lagi karena hatinya tertampar ‘telapak kata’, lalu kemudian karenanya ia menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga cara bicara.

Ia berubah 180°. Bukan karena masa lalu yang membuat ia kapok. Namun karena merasa malu baru tahu karena dulu ia membutuhkan kehadiran bapak-ibu bak bayi berpopok.

Perasaan itu bukanlah kongsi dagang. Maka ia tak mau tawar menawar cinta atau malah obral sayang dengan tujuan seseorang dibuat mabuk kepayang atau terbang layaknya layang-layang.

Perasaan itu adalah angin yang berhembus sesuka hati atau embun yang hinggap sekali namun berarti. Perasaan bukan kamar 3x4 berlapis jeruji. Perasaan lebih dari segala apa yang pernah ia, kamu, aku, atau mereka beri. Dapat saja bergulir, tapi AKU memilih untuk anti-bergilir.

Monday, January 31, 2011

Biar Birahi Tahu Diri

Aku mau kamu menjamahku hingga fajar menyingsing
Dengan segala sentuh hangat dan selimut nafsu yang menyengat
Bergeliat geli penuh nikmat serba kilat
               
    Aku mau kamu melumatku hingga senja tenggelam
                Dengan segala sentuh malu yang terlupa dan birahi yang menyala
                Bergelinjang hebat karena terlalu sempit sampai terasa serba terhimpit

Aku mau kamu mendalamiku hingga mentari lelah berotasi sendiri
Dengan segala remas panas dan cambuk hingga remuk tak berbentuk
Bergetar menggelepar tertampar rasa terhempas tak gentar
               
    Aku mau kamu meniduriku hingga embun pagi enggan tampakan diri
                Dengan segala jerit melilit sampai nafas saja terasa sulit
                Berebah berdua tak tentu ke segala arah

Aku mau kamu menciumku sesingkat angin buat dedaunan terangkat
Dengan segala sayang yang tak mungkin mudah melayang
Berbisik syahdu di telinga “biarkan waktu dan ikatan sah yang beri semua itu…”
               
    Aku mau kamu tetap denganku
                Dengan segala kesetiaan yang sederhana tanpa perlu agungkan cinta
                Berjalan beriringan tapaki kehidupan walau tanpa bermacam ilusi birahi menyesatkan

Wednesday, January 26, 2011

Tala Lana Nala

Kau tak akan tahu
Sama halnya aku
                                Siapa mereka
                                                Asal mereka
                                                                Wujud mereka
               Karena mereka hanyalah Tara, Lana, Nala

Tara Lana Nala
Tak seperti Trimurti , yang menyatu dalam satu badan yang sama dengan tiga jiwa berbeda
Bukan juga Nangkula-Sadewa, si kembar yang hanya tokoh protagonis sampingan dalam perang Baratayudha

Tara Lana Nala
Hanya 3 wanita yang mampir dalam mimpiku
Berwujud aku
Dalam tiga tubuh terpisah dengan karakter yang tak sama
Antagonis, protagonis, melankolis

Kupikir mereka tak lebih dari bunga tidur biasa yag tak berarti
Sama dengan segala api dan air yang menari hiasi mimpi
Namun..

Tara Lana Nala
Hadir dengan 3 pribadi berbeda, yang masing-masing menjadi tokoh utama dalam kehidupannya
Berwujud aku
Seakan mereka adalah aku dengan tiga jiwa yang sengaja Tuhan pisah

Mereka saling membuktikan diri
                Dengan menanipulasi dan eksploitasi diri
                                Dengan menebar hangat dan abdikan diri
                                                Dengan memupuk mimpi namun berdiam diri

Mereka jalani hidup dengan cara sendiri
Mengesampingkan segala kesamaan dan keterikatan diantara mereka
Mengejar segala apa yang bisa mereka raih
                Kesenangan, kebersamaan, kehadiran yang dapat berarti

Namun kemudian mereka saling memakan saudara sendiri
Memanfaatkan, menjatuhkan, sengaja mematikan
                Ada yang mencoba bertahan namun gagal
                                Ada yang mencoba menguatkan namun percuma
                                                (Lagi-lagi) Antagonis, protagonis, melankolis

Seminggu kemudian aku kembali bermimpi
Dengan 2 wanita  yang rasanya pernah aku jumpai

Tara dan Nala
Berwujud aku
Seakan mereka adalah aku, dengan tiga jiwa yang sengaja Tuhan pisah
Dalam 2 tubuh terpisah dengan karakter yang tak sama
Antagonis,  melankolis

Aku melihat mereka
Tara Nala
Berwujud aku
'Namun bukan diriku'

Dalam hening aku bertanya
Dimana gerangan Lana

Tara Nala
Berwujud aku
Seakan mereka adalah aku, dengan tiga jiwa yang sengaja Tuhan pisah

Lana tiada
Mati begitu saja
"Aaahh.. Apa ini berarti protagonis dalam diriku tak lagi ada?"