Saturday, February 19, 2011

mata.hati.telinga.langkah.bicara

Ia berubah 180° sejak hatinya tertampar ‘telapak kata’. Menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga bicara.

Alangkah bodohnya ia, terjebak dalam pusaran intermezzo panjang. Hanya berguling-guling di tempat, tanpa ada usaha setimpal untuk menjadikan segala tampak lebih nyata. Betapa malunya ia, saat kemudian hari menyadari dirinya bermandi detik-detik hampa yang menjual rasa semata. Berlama-lama memanjakan diri dalam kubangan harapan yang nyatanya memang hanya harapan.

Setiap manusia memiliki ruang dalam dirinya yang terdiri dari berbagai kepingan jiwa yang saling berbeda satu sama lain. Kesemuanya itu, jika berhasil digabungkan akan menjadi sebuah gambaran khas yang membangun jati diri orang itu. Entah mungkin kepingan serupa puzzle itu kelak akan berwarna jingga menyala atau malah kelabu kebiruan. Terkadang tak jarang beberapa hasil bernuansa paduan keduanya.

Ia merasa kepingan berwarna keperakan miliknya yang dulu hinggap dalam ruang pengap, kini beterbangan mencari induk semang baru yang pantas dijajaki. Melayang lintasi berbagai macam keping serupa yang bukan miliknya saja. Terus mencari tanpa arah pasti yang tak terpatri dalam peta perjalanannya. “Biarkan begitu”, katanya. “Manusia memiliki kebebasan dalam beraspirasi dan mengeksplorasi diri yang terlegitimasi dalam hak asasi. Jadi mengapa kepingan-kepingan jiwa harus dikekang dan tak boleh bebas tentukan dimana dan pada siapa akan menambatkan jangkarnya serentak pada tempat yang sama?!”

Sejak saat itu, ia sadar bahwa jiwa dan raganya bukanlah boneka yang mudah dibeli dengan sejumlah receh remeh-temeh, lalu kemudian begitu saja terlupa jika si pembeli telah jenuh menjamah dan malas meremas. Ia membiarkan kepingan jiwanya beterbangan, tanpa mengizinkan predator penjual mimpi mengekang kebebasannya sebagai elang liar yang terjebak dalam tubuh manusia lemah dengan rahim menempel di pangkal pahanya.

Ia berubah 180° sejak hatinya tertampar ‘telapak kata’. Menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga bicara.

Menelaah kebersamaan terdahulu. Mengevalusi seciduk kecil kenangan yang tersiram vormalin keyakinan berselimut tipis ragu. Mempisahkan si M, si S, dan si A dalam beberapa ruang suci berisi kebaikan dan pelajaran yang telah mereka beri. Mengaplikasikan sebagian kecil harapan tentang bagaimana seharusnya ia bertindak agar tetap berjalan di rel yang tepat. Menyisihkan sebagian besar lainnya dalam kotak hitam legam yang terbuat dari logam asli tanpa kunci, biar tak pernah biasa ia buka kembali kemudian hari.

Dua sisi berbeda dalam dirinya pernah berseteru seru, guna tentukan harus memenjarakan atau melepas segala kepercayaan yang lama ia titi dan pupuki dengan kesabaran atas keterbatasan. Sampai akhirnya ia tau, bahwa kepingan keperakan dirinya haruslah berhenti jelajahi sapuan matanya yang berotasi dari lusinan lelaki tinggi, kurus, putih, kekar, mekar, aktif, atau bahkan yang apatis superstatis. Butuh lebih dari sejuta kali ledakan atom ragu hingga terpecah menjadi potongan kecil nano percaya, yang kemudian berekatan mesra menjadi kekuatan baru untuk menyakini dua kata sederhana; membuka dan menerima.

Ia berubah 180°. Menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga bicara.

Bukan mata yang ia ingin manjakan, sehingga ia hindari terjebak dalam ilusi keindahan yang nyaris lebih sering menjadi pemangsa bagi orang yang terlena kepadanya. Bukan hati yang ingin ia abadikan, sehingga ia hindari menari di atas permainan rasa yang berayun ringan karena dilumuri oli mimpi. Bukan telinga yang ingin ia refleksi, sehingga ia hindari terhenyak lagu mendayu yang sebenarnya hanya lelucon lucu agar akal rasional tertutup cumbu rayu romantisme klasik palsu. Bukan langkah yang ingin ia rintis, sehingga ia hindari berjalan dengan tangan tertambat lambat-lambat yang hanya alihkan diri dari kata “beriringan” jadi kekuasaan untuk saling “mengiring”. Bukan bicara yang ingin ia utamakan, sehingga ia hindari melegalkan segala kata formal macam gombal yang sepertinya tak pantas dijebloskan dalam rangkai kata yang patut dipuja dan dipenuhi segala maksud dibaliknya.

Ia berubah 180°. Namun nyatanya bukan lagi karena hatinya tertampar ‘telapak kata’, lalu kemudian karenanya ia menjadi lebih berhati-hati menjaga mata, hati, telinga, langkah, juga cara bicara.

Ia berubah 180°. Bukan karena masa lalu yang membuat ia kapok. Namun karena merasa malu baru tahu karena dulu ia membutuhkan kehadiran bapak-ibu bak bayi berpopok.

Perasaan itu bukanlah kongsi dagang. Maka ia tak mau tawar menawar cinta atau malah obral sayang dengan tujuan seseorang dibuat mabuk kepayang atau terbang layaknya layang-layang.

Perasaan itu adalah angin yang berhembus sesuka hati atau embun yang hinggap sekali namun berarti. Perasaan bukan kamar 3x4 berlapis jeruji. Perasaan lebih dari segala apa yang pernah ia, kamu, aku, atau mereka beri. Dapat saja bergulir, tapi AKU memilih untuk anti-bergilir.